Pembukaan

Tujuan:
Membuka secara resmi rangkaian kegiatan festival Bromo Tengger Semeru; Gelar Karsa Poncokusumo 2009 oleh Bupati Malang

Target:
Acara pembukaan akan dihadiri sekitar 300 orang terdiri dari peserta Konferensi Internasional ILO dari 15 negara, pejabat struktural Pemkab Kabupaten Malang dan jajarannya, pihak Media partner, para undangan, komunitas bike packer dan masyarakat sekitar.

Pelaksanaan:
Tanggal 2 Desember, jam 15.00 s/d selesai di rest area GubugKlakah, Poncokusumo, Malang

Acara:
1. Pameran aneka produk unggulan, seperti pertanian, kerajinan, makanan khas, paket wisata, biogas, keuangan mikro dan produk UKM
2. Kesenian tradisional, seperti: jaran joged, tari beskalan, tari serimpi lima, dsb.

Contact person:
Karto Yuono, HP. 0856-55607130
-----------------------------------

Pameran

Tujuan:
Untuk mempromosikan aneka produk unggulan Poncokusumo dan sekitarnya, seperti produk pertanian, kerajinan, makanan khas, paket wisata, biogas, keuangan mikro dan produk UKM.

Target Peserta:
Sekitar 25 peserta dari Kecamatan Poncokusumo, Jabung, Tumpang, Wajak dan Pakis

Pelaksanaan:
Setiap hari, mulai tanggal 2 s/d 6 Desember 2009 di rest area Gubugklakah, Poncokusumo, jam 10.00-17.00

Contact person:
Rawi, HP. 0341-9388764
-----------------------------------

Lomba mewarna

Tujuan:
Mengundang massa dari penduduk sekitar di lingkup Kec. Poncokusumo dengan mengajak putra putrinya yang masih bersekolah di TK untuk lebih mengenal lingkungan melalui lomba mewarnai

Peserta:
Sekitar 100 peserta yang berasal dari TK/RA, SD/MI dan umum usia dibawah 10th dari wilayah Poncokusumo dan sekitarnya

Pelaksanaan:
Hari Kamis, 3 Desember 2009 jam 10.00 s/d selesai di rest area gubungklakah. Peserta kan mendapatkan hadiah dan souvenir dari para sponsor.

Contact person:
Nuzul Hidayah, HP. 0819-45373418
-----------------------------------

Jalan Wisata

Tujuan:
Memperkenalkan obyek-obyek wisata alam yang eksotik khas Poncokusumo kepada masyarakat luas khususnya untuk medan cross country atau lintas alam, karena kondisi alamnya yang segar dan bebas polusi

Peserta:
Diharapkan 1,000 peserta berasal dari pelajar dan umum dari wilayah Malang dan sekitarnya serta komunitas tertentu pecinta olah raga dan wisata

Pelaksanaan:
kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2009, jam 6.00 pagi. Rute jalan wisata sekitar 3 km, dimulai dari dusun Besuki Gubugklakah melalui jalan desa dengan pemandangan dan suasana pedesaan gubugklakah dan berakhir di rest area. Panitia menyediakan hadiah door prize dan souvenir sponsor

Contact person:
Ali Ustman, HP. 0817-9630740
-----------------------------------

Bike Packer Trekking

Tujuan:
Menunjukkan kepada komunitas bike packer dari seluruh Indonesia pada umumnya dan Jatim khususnya bahwa Poncokusumo menyimpan ppotensi alam sebagai obyek wisata yang layak untuk dipromosikan sebagai aset daerah

Bentuk Acara:
Jelajah atau lintas alam (cross country) sepanjang 20 km di areal venue dengan menggunakan sepeda yang mengambil rute ekstrim dan suasana alam pedesaan.

Peserta:
Komunitas bike packer, dengan jumlah target 100 peserta yang meliputi Surabaya dan Malang

Pelaksanaan:

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 6 Desember 2009, jam 07.00 s/d selesai, dimulai dari dari Desa Wonorejo menuju Rest Area, Gubugklakah.

Contact person:
Adi Sucipto, HP. 0856-46693269
-----------------------------------

Minggu, 29 November 2009

POTENSI AGROWISATA PONCOKUSUMO

 
Mendatangi Poncokusumo, tak lengkap rasanya jika hanya melewati saja hamparan tanahnya yang menghijau, deretan terasiring bergantian dengan ladang dan sawah serta gemericik air sungai yang selalu menggoda untuk dinikmati. Sungguh lanskap alam yang sangat indah.

Setelah ditetapkan menjadi kota Agropolitan baru menggantikan Batu, Poncokusumo memiliki banyak keberagaman potensi lain yang belum tergali, antara lain adalah potensi wisata agro yang menarik untuk dikunjungi, antara lain adalah kebun belimbing di Desa Argosuko, Dusun Geden milik bapak Hadi Suwarno, sentra bunga krisan milik bapak Aliono di desa Pandansari, serta beberapa sentra lain seperti kelengkeng mutiara, sentra perkebunan apel dan sentra sayur mayur yang tersebar di segala penjuru kecamatan Poncokusumo

Belimbing Poncokusumo, kualitas ekspor

Desa Argosuko, merupakan sentra kebun belimbing terluas di Kecamatan Poncokusumo dibandingkan desa-desa lainnya. Terletak di Dusun Geden RT 41 RW 09, bapak Hadi Suwarno merupakan petani belimbing yang cukup sukses.

Melalui usaha tani yang dirintisnya sejak lama, kini beliau tinggal menikmati hasilnya saja. “Ya, saya itu suka tani belimbing, karena saya memiliki keyakinan bahwa belimbing lebih menguntungkan dibandingkan buah lain, perawatannya mudah, jarang terkena hama, karena masih kecil sudah dibungkus dengan plastik, ongkos operasional murah, tidak mengenal musim, berbuah sepanjang tahun, yang pasti harganya relatif stabil.” Ungkapnya

Bermodalkan  kebun belimbing seluas 3.800 m2 dan 2.600 m2, beliau sanggup menyediakan suplai belimbing hingga ±10-20 ton/tahun. Kunci dari keberhasilan panen yang meruah tersebut adalah penggunaan pupuk yang membuat zat tanah stabil. “Saya menggunakan 50% pupuk organik dan 50% pupuk kimia, jadi unsur hara dalam tanah menjadi stabil. Kondisi tanah stabil, menjadikan hasil panen stabil, jadi hasil pendapatan juga stabil. Gitu ceritanya.” Terang pria setengah baya yang ramah senyum sambil menyedot rokok kretek favoritnya.  
Panen tersebut biasanya langsung dikirim ke berbagai supermarket lokal sekaligus memenuhi permintaan beberapa pabrik pengolahan untuk digunakan sebagai bahan dasar olahan sirup dan keripik belimbing. “Sejauh ini, saya baru bisa melayani permintaan untuk pengiriman belimbing ke Malang, Batu dan sekitarnya. Ada rencana melakukan intensifikasi produk, seperti bikin sari belimbing, tapi masih kewalahan dengan permintaan pasar.Jadi, ya sambil nunggu modal.”

Di desa Argosuko sendiri ada sekitar 50 petani belimbing, namun berdasarkan keterangan Bpk. Suparman, kamituwo desa hanya 10 orang saja yang ‘melek’ usaha. “Sebelumnya, ada banyak penyuluhan untuk petani belimbing disini, yakni SLPHT (Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu), yang sengaja digagas pemerintah untuk perbaikan kualitas belimbing. Dan Pak Hadi ini termasuk orang yang melek tersebut, karena ada neraca keuangan yang dibuatnya secara berkala, sehingga segala sesuatunya bisa diperhitungkan olehnya.”


Tanaman belimbing di Argosuko memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan pertanian belimbing di tempat lain. Perbedaan tersebut tampak mencolok karena batangnya yang pendek dan cenderung melebar. Hal tersebut bukan tanpa sebab, karena pohon-pohon belimbing tersebut memang sengaja dibonsai atau dalam bahasa sekitar adalah “dipeluk”  oleh Pak Hadi.

“Saya itu suka eksperimen, salah satu eksperimen saya ya saya sengaja memeluk batang belimbing, supaya pohon dan dahannya rendah. Jadi saya bisa memberdayakan perempuan di lahan saya.” Menurut beliau hal tersebut berpengaruh dalam operasional, dengan pohon yang rendah, maka pekerjaan menjadi ringan, karena tidak memerlukan tenaga untuk menaiki batang belimbing. Sehingga pekerjaan membungkusi buah belimbing dengan plastik bisa lebih mudah. Selain itu, ongkos pekerja perempuan lebih murah dari laki-laki karena pekerjaan yang ringan tersebut.” Jadi saya bisa memberdayakan perempuan disekitar Argosuko, tugas mbungkusi belimbing khan bukan tugas berat, apalagi lahan saya sengaja saya bikin pengairan sendiri.” Tukasnya ringkas.

Mengurusi dua perkebunan tersebut, Pak Hadi dibantu oleh 4 orang pekerjanya yang rutin datang setiap hari untuk menyiangi rumput sekitar tanaman dan operasional perawatan belimbing lainnya. “Tapi kalo musim bungkusan, saya biasanya sampe 14 orang yang membantu mbungkusi, buat pekerja laki-laki hanya saya pake kalo waktu ngompres (penyemprotan tanaman belimbing dengan insektisida), motongin tunas yang tidak terlalu produktif, pokoknya kerja manol (angkat-angkat), lainnya bisa dikerjakan perempuan.”

Sejauh ini Pak Hadi tidak menyatakaan tidak ada kendala yang cukup berarti dalam penanganan usaha tani belimbingnya. “Tapi, bagaimanapun setiap orang khan punya keinginan mbak, keinginan saya, ya saya pengen mengembangkan usaha saya, sehingga saya bisa menyerap banyak tenaga kerja lainnya.” Pungkasnya sembari tersenyum mengakhiri wawancara kami siang itu. (Rizka)

Krisan bermekaran di Poncokusumo

Jika kita melakukan wisata agro ke Poncokusumo, kita harus menyempatkan berkunjung ke kebun bunga Krisan milik bapak Aliono yang terletak di desa Pandansari RT 23 RW 08 Kecamatan Poncokusumo. memasuki kebunnnya, mata kita akan dimanjakan dengan hamparan bunga krisan berwarna-warni dengan berbagai jenis dan ukuran.

Pak Aliono mengawali perjalanannya sebagai petani bunga krisan, sebagai penjual bunga pada tahun 86an. “Waktu itu, saya cuman penjual bunga saja, awalnya saya sempat nanam mawar, tapi kelamaan saya lebih tertarik untuk membudidayakan krisan karena saya melihat peluang tersebut sekaligus perputaran dananya lebih cepat daripada bertanam mawar.”

Melalui usaha coba-coba tersebut, dengan tangan dingin dan ketelatenannya akhirnya dia menemukan jalan untuk semakin memperluas kebunnya. Hingga kini dengan bendera “Tunggal Putra Agro” dari 1 hektar kebun krisan miliknya, beliau bisa melakukan panen setiap 2 hari sekali.

Masing-masing dalam setiap panennya, beliau bisa meghasilkan 60-100 ikat bunga krisan dengan bermacam varian. “Ada sekitar 100 lebih jenis tanaman krisan, namun saya lebih banyak membudidayakan krisan jenis Gelbra, dan Snow Queen dengan berbagai macam varian warna. Sisanya saya membudidayakan berbagai jenis dedaunan, misalnya pillow atau leader leaf.”

Dibantu oleh 10 orang karyawannya, beliau melakukan pembibitan krisan menggunakan media arang sekam selama 20 hari sampai tumbuh akar. Selanjutnya bibit tersebut siap tanam dan dipindahkan ke lahan tanah sampai dengan panen 3 bulan kemudian. “Pokoknya kunci dari penanaman krisan tersebut harus dijaga kelembabannya tempatnya secara tepat.” Terangnya sambil menunjuk ke seantero kebunnya yang rangkanya terbangun dari bambu dan dilingkupi oleh plastik disekujur permukaannya.



Beliau menandai, bahwa ada musim-musim tertentu untuk produksi bunga krisannya, “Biasane bulan besar (bulan-bulan setelah Idul Fitri) itu saya harus menyiapkan paling tidak lebih dari 200 ikat dari segala jenis varian untuk dikirim ke supplier-supplier di sekitar Bali, lokal Malang dan sekitarnya. Kalo bulan biasa paling-paling ya sekitar 60-100 ikat. Lainnya tergantung pesanan.”   Setiap ikat bunga krisan tersebut, pak Aliono mematok harga Rp.8000-12.000 untuk jenis yang berbeda. “Tergantung, mau krisan jenis yang mana.” Tuturnya sambil tersenyum ramah, sekaligus mengakhiri wawancara kami siang itu. (Rizka)

Apel, ikon Poncokusumo

Buah apel, bisa dikatakan merupakan buah yang menjadi ikon di masyrakat Poncokusumo. Jika anda menyempatkan menikmati jalan santai disekitar wilayah Poncokusumo, anda akan menemui setiap rumah memiliki minimal dua tanaman apel, atau bahkan kebun apel di sekliling rumah mereka. 


                      



Ada beberapa varietas apel yang banyak ditanam masyarakat Poncokusumo, antara lain apel Manalagi, Ana, Room Beauty, Royal Red, Australia, dan apel Yonagi.  Pohon apel di Poncokusumo memiliki ketinggian antara 2-3 meter, dan petani apel biasa melakukan panen apel 2 kali dalam setahun. Setelah panen biasanya petani apel melakukan proses “mrentesi” atau memetiki seluruh daun pada pohon apel untuk memaksa pohon apel bertunas dan berbuah lagi secara bersamaan.

Pohon apel yang tengah berbuah biasanya langsung dibungkusi oleh para petani, “Yang dibungkus cuma apel manalagi, tujuannya supaya warnanya tetap hijau muda dan kulitnya tipis serta crispy. Kalau tidak dibungkus, warnanya menjadi kemerahan dan kulitnya tebal serta kaku, dan ini tidak disukai konsumen.” Tutur Bu Pipit. Melakukan pekerjaan itu, biasanya mereka sering memperbatukan anak-anak kecil disekitar lingkungan mereka.

Menariknya, tanaman apel tidak hanya menjadi sebuah komoditi untuk masyarakat sekitar, namun apel menyumbangkan sebuah kultur baru masyarakat Poncokusumo dari berbagai aspek.

Segi ekonomi, jelas menunjukkan apel sebagai komoditi unggulan dari Kecamatan Poncokusumo, hal tersebut membuka lapangan pekerjaan lain, dari berbagai segmen generasi. “Disini, anak-anak kecil juga bisa mendapatkan uang seperti orang dewasa. Misalnya dari penghasilan mereka membantu petani apel mrentesi daun-daun apel setelah panen, atau membungkusi buah.” Terang Bu Pipit lagi. 





Perkebunan apel juga nampaknya tak lepas dari peranan perempuan yang menjadi pekerja dalam perkebunan tersebut. Pekerja perempuan tersebut biasanya memulai kerja pukul 7 sampai dengan pukul 10, biasa disebut “Ngesuk” (dari kata Isuk=Pagi) atau dari pukul 7 hingga 12 siang atau disebut “Mbedug” (dari kata Beduk=pukul 12 siang). Setiap harinya mereka dibayar Rp 8.000-an jika hanya pagi hari, Rp 12.000,-an jika mereka hingga siang.

Mungkin mereka tidak mengenal gender dan emansipasi perempuan seperti halnya di kota, namun perempuan-perempuan tersebut memiliki tanggung jawab publik maupun domestik yang tinggi terhadap keluarga. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Budhy Prianto & Alifiulahtin Utaminingsih dengan judul penelitian “ Potret Perempuan Pekerja Kebun Apel Kajian tentang ‘Triple Role’ dan ‘Family Decision Making Role’ Perempuan Pekerja Kebun Apel Poncokusumo Kabupaten Malang”, penelitian ini dimuat di Jurnal Penelitian Unair Volume.17 Tahun 2005.

Penelitian ini menunjukkan peran signifikan perempuan yang berkedudukan sejajar dengan laki-laki baik dalam pembuat keputusan pada lingkup keluarga, sekaligus tetap memiliki peran yang besar pula dalam lingkungan publik, domsetik ataupun produktivitas bekerja mereka.
Apel juga membuat perubahan lainnya, saking banyaknya tanaman apel, di Desa Pandansari terciptalah tarian “Petik apel” yang ditarikan oleh anak-anak kecil. “Tarian petik apel memang terinspirasi oleh tanaman apel yang banyak tumbuh sekitar lingkungan kami, dan ditarikan oleh 6 orang anak-anak. Bisa disaksikan nantinya pada event Gelar Karsa Poncokusumo, pada 5 Desember nanti.” Ungkap Lurah Pandansari, yang akan menyumbangkan tari tersebut pada festival nanti.

Menarik sekali bagaimana peran sebuah komoditi mampu memberikan aspek perubahan dalam kultur ataupun masyarakatnya. Demikian pula dengan Poncokusmo yang kini semakin bersolek dengan atribut barunya sebagai Kota Agropolitan berikutnya. (rizka-lukman)